Pendahuluan
Kawasan Timur Indonesia, diakui mempunyai
sumberdaya alam (SDA) yang sangat melimpah. Wilayah ini sesungguhnya sangat
potensial untuk menjadi kekuatan ekonomi baik pada tingkat nasional, regional,
maupun internasional. Sayangnya, sumberdaya manusia yang tersedia di kawasan
ini sangat terbatas, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Kemampuan
masyarakat lokal masih sangat rendah dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang
melimpah. Sedangkan kebijakan pembangunan di KTI masih belum sepenuhnya
menempatkan SDM sebagai target dan basis pembangunan. Konsep pembangunan di KTI
masih belum sepenuhnya berciri human development (pembangunan manusia), yaitu
sebuah pembangunan yang berorientasi pada manusia (people center development). Salah
satunya adalah pembangunan pendidikan.
Pembangunan pendidikan tidak terlepas dari
adanya upaya peningkatan sarana dan prasarana pendidikan. Ditinjau dari ketersediaan
sarana pendidikan seperti jumlah sekolah dan tenaga pengajar, secara kuantitas sudah
memenuhi persyaratan kegiatan pendidikan sehingga dapat berjalan secara efektif.
Alokasi dana pendidikan yang rencananya pada tahun 2013 ini akan dinaikkan dari
semula membuat pemerintah memeras kepala dalam efektifitas dan efisiensi
penggunaan anggaran. Meskipun tidak bisa kita pungkiri bahwa masih ada yang
tidak mampu sekolah di Indonesia dan khususnya di Nusa tenggara barat, tapi dengan
persentase yang tidak begitu signifikan NTB setidaknya mampu membuka senyum
bangga atas beberapa keberhasilan program yang telah dijadikan solusi.
NTB merupakan sebuah provinsi yang kaya akan
sumberdaya alam, meskipun begitu tentu tidak akan sendirinya memberikan
kemakmuran bagi warga masyarakatnya, jika sumber daya manusia (SDM) yang ada
tidak mampu memanfaatkan dan mengembangkan teknologi guna memanfaatkan sumber
alamnya. Sebaliknya, beberapa contoh wilayah di luar sana begitu cepat
berkembang dibandingkan wilayah lainnya yang tidak cukup mempunyai sumberdaya
alam namun memiliki manusia yang unggul. Hal ini berarti bahwa sumberdaya
manusia ternyata memiliki peran penting dalam proses pemakmuran sebuah wilayah.
NTB dengan PT NNT dan beberapa perusahaan tembakau seharusnya sudah mampu
menjadi makmur dan sejahtera. Tapi kita harus jujur bahwa SDM kita ternyata
belum siap untuk ini semua. Sehingga peningkatan SDM sebagai prioritas program
di NTB memang harus kita dukung. Salah satunya adalah dengan meningkatkan
kualitas pendidikan NTB
Tiga Jurus Kemendikbud untuk Pendidikan
Tantangan dunia pendidikan ke depan dipastikan
semakin besar. Salah satunya adalah kebutuhan tenaga kerja terampil yang terus
bertambah tiap tahunnya. Berkaca dari tahun lalu, kebutuhan tenaga kerja
terampil di Indonesia mencapai 55 juta. Jika pada tahun 2030 kebutuhan tenaga kerja
terampil diperkirakan naik sampai 113 juta, maka Kemendikbud dalam KOMPAS mengeluarkan tiga
jurus yang diduga mampu membawa permasalahan Pendidikan menuju Cahaya yang
gemilang. Mari kita pandang jurus tersebut lalu menyeretnya sebagai solusi di
daerah NTB. Bisa atau tidak, belum saatnya kita menjawab. Hal ini karena kita
masih belum tau secara kongkrit ketiga jurus tersebut. Di sini kita akan
mencoba mengkaji langkah-langkah tersebut dengan melihat kemungkinan atau
peluangnya.
Jurus yang pertama adalah meningkatkan APK atau
biasa disebut sebagai Angka partisipasi kasar sekolah. APK merupakan
perbandingan antara siswa dengan usia tertentu yang duduk di bangku sekolah
terhadap jumlah penduduk di daerah tersebut yang memiliki umur yang sama. APK
menunjukan seberapa besar partisipasi sekolah suatu daerah, tetapi tidak bisa
menggambarkan seberapa besar minat sekolah pada daerah tersebut. Peningkatan APK
ini diharapkan akan berdampak pada berhasilnya program wajib belajar 12 tahun
melalui pendidikan menengah universal, dimana Kurikulum 2013 sebagai
kendaraannya. Pertanyaannya adalah apakah NTB sudah mempersiapkan diri dengan
ini? Jika solusi yang dirumuskan masih bersifat klasik yaitu pendidikan gratis,
beasiswa miskin, atau sarana prasarana, berarti NTB harus benar-benar
sungguh-sungguh. Karena sesungguhnya, sering kali sungguh-sungguh itu berjalan
dengan ketidaksungguhan.
Salah satu contoh kasus misalnya. Amri yang
berasal dari sebuah desa di Sumbawa memilih berhenti sekolah ketika memasuki
tahun kedua SMP. Ketika ditanya tentang alasan berhenti, dia dengan lantang
mengatakan bahwa dia malas sekolah dan malas berfikir. Tentunya kasus-kasus
serupa dengan yang di atas tidak serta merta diatasi dengan solusi yang sudah
pernah ada.
Sungguh menarik tentang apa yang dikatakan oleh Guru
Besar Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia Mohamad Ali. Dia menilai, bahwa program program seperti di ats
hanya berorientai pada sisi suplai. untuk membangun pendidikan harus melihat
pula sisi permintaan (demand) terhadap pendidikan. Ada empat macam
karakteristik aspirasi terhadap pendidikan. Pertama, kalangan yang mampu secara
ekonomi dan mempunyai aspirasi yang bagus terhadap pendidikan. Kedua, yang
mampu secara ekonomi, tetapi permintaan terhadap pendidikan rendah.
Ketiga, mereka yang tak mampu secara ekonomi, tetapi mempunyai
aspirasi yang tinggi terhadap pendidikan. Kelompok keempat adalah mereka yang
tidak berdaya secara ekonomi, sekaligus aspirasi yang rendah terhadap
pendidikan.
Selama ini pemerintah khususnya NTB hanya
menggarap kelompok satu dan tiga. Padahal kelompok keempat jumlahnya juga besar
dan butuh perhatian. Sehingga sudah semestinya pemerintah membuat peta
persoalan pendidikan terlebih lagi tentang demand pendidikan agar solusi
yang ditawarkan menjadi solusi yang efektif dan efesien.
Strategi kedua adalah meningkatkan akses ke pendidikan tinggi yang mengacu pada
Undang-Undang No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Dalam undang-undang
itu disebutkan pemerintah wajib menyelenggarakan sedikitnya satu Akademi
Komunitas di setiap kabupaten dan setidaknya ada satu universitas dan
politeknik di tiap provinsi. Strategi kedua ini cukup bisa menjawab
persoalan berjamurnya perguruan tinggi yang berorientasi bisnis dengan kualitas
dan mutu simbolis di NTB. Menjamurnya perguruan tinggi swasta di NTB dari yang
nyata hingga yang sifatnya Gaib dan jarak jauh selain UT menjadi ancaman bagi
kualitas SDM NTB sendiri. Meski membawa alasan meningkatkan akses pendidikan,
lantas bukan berarti kualitas dan kelayakan diabaikan. Jurus ketiga ini rasanya
akan mendapatkan dukungan dari masyarakat jika dijalankan dengan baik. Apalagi dengan
memberikan BOPTN (bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri) seperti BOS pada
tingkat sekolah. Serta dengan tetap menjaga kuota 20% untuk masyarakat miskin.
Strategi ketiga adalah merevisi kurikulum untuk jenjang SD, SMP,
dan SMA. Kurikulum 2013 disusun untuk menyiapkan peserta didik menguasai
keterampilan di abad 21 yang mengedepankan kreativitas dan keberanian melakukan
inovasi. Menanggapi jurus ini tidak mudah. Selain karena belum
diterapkan dan hanya masih dalam proses uji public, kurikulum ini mendapatkan
pro kontra pada konteks kelengkapannya. Kurikulum yang rencananya akan mulai
diterapkan pada Juli mendatang mengharuskan NTB sejak dini mempersiapkan diri
dalam membuat peta permasalahan pendidikan sehingga dengan kurikulum ini, tidak
terjadi istilah “apapun makanannya, minumannya tetap air putih”. Maksud istilah tersebut adalah memberi tamparan
tersendiri kepada pelaksana pendidikan formal. maksudnya adalah apapun bentuk
kurikulumnya, proses belajar mengajar dalam kelas dan di sekolah tetap seperti
biasa.
Semoga NTB bisa menjadi kebanggan bagi kita
semua. Wallahua’lam
0 comments:
Post a Comment