Wajib belajar yang didengungkan
pemerintah dan dijalankan oleh pemerintah daerah tidak sama dengan wajib
belajar versi Negara maju. Menurut Utomo Dananjaya (2005), Wajib belajar (Cumpolsory Education) di negara maju
memiliki unsur paksaan agar peserta didik sekolah, diatur dengan undang-undang,
membuat sanksi bagi orang tua yang tidak menyekolahkan anaknya. Sedangkan di Indonesia, wajib belajar hanya
besifat persuasif dan hanya tanggung jawab moral yang dibebankan terhadap orang
tua.
Mendengar ungkapan wajib belajar 9 tahun
yang dianggap “kemajuan” bagi “kita” malah menjadi tanda tanya besar ketika
maknanya dipersoalkan. Wajib belajar yang sering di pamerkan pada hakekatnya
hanyalah sebuah himbauan untuk sekolah. Entah itu 6 tahun maupun 9 tahun.
Alasannya sangat jelas karena indikator keberhasilan program ini hanya pada
angka partisipasi sekolah semata. Pemerintah cemas karena masih banyaknya
masyarakat yang tidak sekolah. Dengan semakin banyaknya masyarakat sekolah
dianggap masalah pendidikan telah selesai. Padahal Jauh dalam pada sekolah
terdapat ancaman besar seperti “bom waktu” yang siap meledak. Yaitu apakah di
sekolah, peserta didik sungguh-sungguh belajar dan diwajibkan belajar.
Pertanyaan ini muncul karena kenyataan “pengangguran” tidak hanya bagi yang
tidak sekolah tetapi telah menyerang mereka yang pernah sekolah bahkan
berstatus sarjana, bahkan sebaliknya.
Diangkatnya Susi Pudjiastuti yang hanya mengenyam
‘pendidikan menengah’ sebagai seorang menteri
adalah hal yang fenomenal. Ada yang pro dan ada pula yang kontra.
Sebagian masyarakat memiliki pandangan bahwa sekolah setinggi-tingginya tidak
menjamin seseorang untuk sukses. Penulis tidak ingin terlalu jauh pada
persoalan penting atau tidaknya sekolah. Tetapi ingin meluruskan tentang
pandangan proses wajib belajar dan proses belajarnya seorang Susi.
Sekolah setinggi apapun, akan sia-sia jika
di dalamnya tidak disertai dengan proses belajar dan pengalaman belajar yang
mantab. Fenomena susi seolah menjadi peringatan bahwa belajar tidak hanya di
sekolah. Masyarakat, dan orang tua memegang peranan penting dalam proses
belajar peserta didik. Peserta didik butuh belajar dari lingkungan sebagai
pengalaman yang berharga. Masyarakat dan orang tua di luar sekolah menjadi guru
sejati. Konsep alam sebagai kelas dan langit sebagai atap mengarah pada
pendidikan sebagai suatu proses pemberdayaan dan bukan sekedar persekolahan. Sehingga
wajib belajar dimaknai sebagai suatu tanggung jawab bersama untuk mengawasi dan
mendidik melalui proses pemberdayaan peserta didik.
Pemberdayaan peserta
didik menjadi kunci dalam memaknai wajib belajar yang sesungguhnya. Pemerintah
melalui program wajib belajar harus berfikir untuk mengatur pendidikan wajib
belajar melalui undang-undang, atau peraturan-peraturan dengan kekuatan hukum,
memberikan sanksi tertentu bagi orang tua yang tidak mendukung proses belajar
anak-anaknya. Jika pemangku kebijakan, komponen-komponen pendidikan, serta
masyarakat menyadari pendidikan sebagai proses pemberdayaan dan pembudayaan,
maka pendidikan melalui sekolah dan program wajib belajar menjadi sesuatu yang
mermakna.
0 comments:
Post a Comment