“1) Demi masa. 2)
Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, 3)Kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi
kesabaran” – (Al’Ashr).
Masyarakat Indonesia khususnya
Nusa Tenggara Barat yang mayoritasnya muslim, tentunya sering membaca
ayat di atas. tidak bisa kita pungkiri bahwa provinsi yang memiliki tiga etnis
mayoritas tentunya menjunjung tinggi Al Qur’an dan agama sebagai pondasi dari
adat istiadat dan kebudayaan masing-masing. Namun hanya segelintir masyarakat
yang dalam kehidupanya memaknai dan mendirikan rambu-rambu agama dan adat
istiadat.
Di tengah krisis multidimensi yang serba carut marut, manusia
semakin kehilangan jati dirinya dalam konteks mengenal Tuhan dan mencari tauladan. Sekulerisme yang telah
duduk manis dalam tiap dimensi kehidupan manusia kian memupuk permisivisme
hingga telinga dan mata pun berkeliaran di tengah kegelapan dalam membaca diri mereka
sebagai mahluk sosial. Semua agama pun menempatkan Nasihat pada kedudukan yang
begitu penting. Tidak terkecuali agama Islam yang begitu mulia mengajarkan
kepada pemeluknya agar senantiasa saling menjaga satu sama lain menggunakan nasihat.
Nasihat pada era ini, pada umumnya selalu dihadang dengan malu.
Malu memberi nasihat dan malu menerima nasihat. Nasihat lahir bersamaan dengan
adanya pendidikan pada manusia. Secara filsafat, pendidikan itu sudah ada sejak
manusia itu ada. Karena kata lain dari Nasihat itu adalah suatu pendidikan yang
sifatnya mengarahkan manusia menjadi makhluk yang lebih baik. Pendidikan secara
umum dipisahkan menjadi tiga jenis. Pertama, pendidikan yang terjadi dalam
masyarakat. kedua, pendidikan formal oleh suatu kelompok atau Negara. Dan
Ketiga adalah pendidikan keluarga. Dalam masing-masing pendidikan tersebut
memiliki ruang dan peluang nasihat yang
besar. Tiga faktor pendidikan bisa
berjalan dalam masing-masing jenis pendidikan yaitu, (1) pendidik, (2) isi
didikan (3) peserta didik. Ketiga unsur tersebut memiliki peranan masing-masing
dalam menjalankan pendidikan ataupun nasihat hingga satu sama lain membentuk Reciprochal
Relationship (saling berhubungan).
Pendidik
Masyarakat sebagai kelompok merupakan tempat pendidikan itu
berjalan secara sadar dan tidak sadar. Yang mengambil peran sebagai pendidik
dalam masyarakat adalah prilaku masyarakat itu sendiri. Sehingga
prilaku-prilaku tersebut disaring oleh generasi baik vertical maupun horizontal
hingga melahirkan tauladan. Tauladan merupakan pendidik utama dalam kehidupan
masyarakat. Permasalahannya saat ini adalah paradigma ketauladanan yang sudah
bergeser dari yang seharusnya. Seorang kiayi, Tuan Guru atau tokoh agama yang
senantiasa berkhutbah dengan lantunan ayat-ayat suci terlalu sering bertolak
belakang dengan tindakannya dalam kehidupan masyarakat. Contoh ini hadir karena
melihat NTB menempatkan mereka sebagai tokoh yang memiliki peluang besar dalam
menjadi tauladan dan mendidik masyarakat. Bupati, wali kota, Kepala daerah, hingga kepala desa dan kepala
dusun yang seharusnya mengayomi dan memberikan rasa aman, sudah secara terbuka
memamerkan kelicikan, kedustaan, perampokan, kedzoliman hingga ancaman kepada
masyarakat demi mempertahankan hidup dan kepentingan pribadi. Sarjana-sarjana
sebagai agen of change sudah membuang rasa malu dan berani melakukan
prilaku negative dengan memarginalkan satu sama lain. Oknum Guru sebagai
Pendidik berani melakukan tindakan yang mengancam rasa aman peserta didiknya.
Individu-individu dalam masyarakat, dalam konteks umur lebih tua, berani
menulis kalimat-kalimat hujatan, tidak senonoh, amoral, buta etika dalam
melakukan komunikasi di jejaring sosial Facebook, dan twiter. Memang harus juga
kita akui bahwa dalam masyarakat memang terdapat manusia yang bisa menjadi
tauladan, yaitu yang sesuai antara ucapan dan perbuatan. Namun, mereka hanya
beberapa diantara ribuan orang dalam masyarakat. Dan nasihat pun tenggelam
bersama mereka hingga setiap orang sibuk mengangkat diri masing-masing menjadi
yang paling benar. Bagaimana lagi hidup ini, jika pemimpin sudah tidak punya
nasihat, masyarakat sudah meninggalkan dirinya sebagai pemberi nasihat,
guru-guru melupakan dirinya sebagai pemberi nasihat, maka dipastikan
benturan-benturan horizontal maupun vertical akan menggantikan posisi nasihat
sebagai raja, dan egoisme sebagai ratunya.
Isi Didikan
Masyarakat NTB yang majemuk
merupakan gambaran Indonesia dalam konteks kebinekaan. Tentunya kekayaan budaya
menjadi suatu aset penting dalam meningkatkan pendidikan. Rendahnya SDM NTB
yang salah satu faktor penyebabnya adalah rendahnya mutu pendidikan menjadikan
manusia NTB tidak bisa mengolah, meletarikan dan bahkan memanfaatkan kekayaan
budayanya. Semakin banyak manusia mendapatkan pendidikan maka semakin berbudaya
orang terebut. Lalu semakin tinggi budaya seseorang maka pendidikan pun akan
semakin tinggi dalam konteks kualitas. Kebudayaan berbagai etnis dan beberapa
kelompok masyarakat di NTB memiliki cara
tersendiri dalam mendidik generasi masing-masing dan mengekspresikan nasihat.
Hanya saja nasihat-nasihat melalui budaya dan ekspresi kebudayaan kurang
diinternalisasi oleh masyarakat dan bergeser menjadi sebuah materi lomba dan
hiburan panggung semata.
Berkaca dari Islam sebagai agama
mayoritas di NTB, menjaga kekayaan nasihat dan bahkan hamper seluruh ajaran
islam ini disampaikan melalui nasihat baik perbuatan maupun perkataan. Nasihat-nasihat ataupun ajaran agama yang
sejak berabad-abad silam telah ada, dan sebagian besar dari kita bisa merasakannya,
tentunya tidak serta merta bertahan dengan sendirinya tanpa ada aliran pewaris
dan penjagaan isi nasihat dari zaman ke zaman. Melihat kondisi saat ini,
sebagai generasi yang bertanggung jawab terhadap masa depan dan generasi
berikutnya, tentunya kita harus berfikir apa yang akan kita wariskan. Jika kita
benar akan mewariskan agama, berapa banyak masyarakat yang tidak tahu ilmu
agama? Berapa banyak dari kita sebagai orang tua yang tidak memahami ilmu
agama? Berapa banyak dari anak-anak kita yang tidak peduli dengan agama? Jika
kita kemudian ingin mewariskan budaya, berapa banyak dari masyarakat kita yang
acuh terhadap budaya? Berapa banyak dari kita sebagai orang tua yang tidak
mengetahui nasihat-nasihat kebudayaan yang harus disampaikan kepada anak-anaknya?
Berapa banyak dari anak-anak kita yang tidak peduli dengan nilai-nilai kearifan
local? Jika pilihan kita adalah ingin mewariskan sains dan teknologi, sains dan
teknologi seperti apa? Bukankah kita saat ini sedang terlena menjadi masyarakat
komsumtif? Bukankah pendidikan kita saat
ini sedang sakit dan hanya mampu berdiri untuk menyiapkan anak-anak manusia
menjadi buruh industry? Sudah seharusnya kita semua bertanggung jawab untuk memahami
segala aset kekayaan budaya dan ilmu yang kita miliki. Lalu kita tulis sebagai
sesuatu yang harus kita wariskan melalui nasihat dan pendidikan bercorak
Indonesia.
Kurangnya wawasan masyarakat tentang
agama, budaya, serta ilmu menjadi factor penyebab hilangnya nasihat dalam
kehidupan sosial. Karena tanpa wawasan dan ilmu, kita hanya akan mewariskan
kehampaan kepada anak-anak kita. Dan pada akirnya generasi kita seperti mata
rantai rapuh yang memisahkan antara generasi sebelum dan sesudahnya.
Peserta
Didik
Peserta didik biasanya diartikan
sebagai siswa. namun secara luas, peserta didik adalah semua manusia yang
secara sadar atau tidak sadar sedang melihat, mendengar dan merasakan
pendidikan di setiap tempat. Sudah bukan rahasia lagi bahwa siswa sebagai
peserta didik pendidikan formal menjadi hobi tawuran, bahwa pemuda sebagai
peserta didik di masyarakat terlena dengan sikap hedonis, tidak peduli, dan
seperti sebuah kapas beterbangan yang tidak mengetahui arah dan tujuan. Moral
dan etika sudah tidak penting bagi sebagian dari mereka. Nasihat-nasihat hamper
tenggelam bagi sebagian mereka. Disamping kurangnya tauladan yang menasihati
mereka sebagai peserta didik, juga disebabkan oleh kurangnya tokoh-tokoh yang
bisa dipercaya dan digugu dalam konteks memberi nasihat. Sungguh telah banyak bukti
bahwa kecerdasan tidak cukup tanpa kekuatan karakter.
Nasihat menjadi penting ketika
pendidikan kita tidak mampu berdiri ataupun berlari. Baik pemberi nasihat, isi
nasihat maupun yang diberi nasihat saling mendukung satu sama lain. Ketiga
unsure ini adalah hal yang harus kita jaga dan kembangkan dalam menjadikan NTB
lebih baik. Karena pondasi dari masyarakat yang madani adalah kebudayaan yang
tinggi dan pendidikan yang berkualitas.
0 comments:
Post a Comment