Siapakah
yang paling dominan berpengaruh terhadap keberhasilan pendidikan anak? menghadapi
pertanyaan ini di Indonesia, 62 % orang tua menjawab adalah guru. Dan 38% orang
tua menjawab bahwa yang berpengaruh adalah orang tua. Tentunya persentase
jawaban pada masing-masing daerah akan berbeda. Tetapi persentase jawaban
pertama dipastikan selalu lebih dominan. Perbedaan pendapat dan tuding-menuding
antara orang tua dan pihak sekolah (dalam hal ini guru) kerap kita dengar
sebagai sebuah perdebatan yang tidak ada habisnya. Di sisi lain, ketika seorang
anak berprestasi dalam konteks akademik, guru dan orang tua justru berebut
apresiasi bahwa merekalah yang menyebabkan keberhasilan anak. Keadaan ini
memperlihatkan kepada kita tentang masyarakat yang belum kuat dan belum berani
menerima kelemahan dan kekurangan diri.
Melihat
realita dan fakta yang menimpa anak Indonesia dalam konteks kekerasan (Abuse), meningkat sejak tahun 2003 dari
481 kasus, menjadi 766 kasus pada tahun 2005. Hingga tahun 2012 terhitung bahwa
kasus kekerasan terhadap anak masih marak terjadi. Penurunan jumlah kasus yang
tidak terlalu signifikan menceritakan kepada kita semua tentang betapa suramnya
masa depan generasi Indonesia. Pada saat ini mereka terancam akan hilang dan
punah. Berbicara tentang kekerasan terhadap anak, Terry E, Lawson, psikiater
internasional yang membuat definisi tentang kekerasan terhadap anak menyebutkan
ada empat macam kekerasan, yaitu kekerasan emosi (Emotional Abuse), kekerasan verbal (Verbal Abuse), kekerasan fisik (Physical
Abuse) dan kekerasan seksual (Sexual
Abuse). Dari keempat macam
kekerasan tersebut, kekerasan emosi dan kekerasan verbal adalah kekerasan yang
terlalu sering terjadi dan tidak disadari oleh sebagian besar masyarakat kita
terhadap anak, termasuk di NTB.
Emotional Abuse
terjadi ketika seorang anak membutuhkan perhatian dan apresiasi, lalu orang
tua, pengasuh, guru bahkan masyarakat lalu mengabaikan anak itu. Mereka
dibiarkan dalam keadaan lapar, susah, bahkan kesulitan karena orang tua atau
guru terlalu sibuk dan tidak ingin diganggu pada waktu itu. Kekesaran emosional
ini akan terus diingat oleh anak jika terlalu sering dilakukan. Bahkan seorang
anak akan menjadi pendendam dan bahkan perkembangan dan apresiasi dirinya
terbunuh. Verbal Abuse terjadi ketika
seorang pengasuh anak, pendidik atau pelindung anak setelah mengetahui bahwa
anak membutuhkan perhatian melalui berbagai ekspresi, menyuruh anak tersebut
untuk diam. Jika anak terus berbicara, maka orang tua atau pendidik
mengeluarkan kekerasan verbal yang biasanya dengan ungkapan “kamu bodoh”, “kamu
cerewet”, dan ungkapan-ungkapan sejenis menggunakan bahasa daerah. Kekerasan
verbal ini tentunya dianggap spele oleh sebagian besar masyarakat kita. Padahal
ini merupakan masalah serius yang dampaknya akan membunuh karakter dan
perkembanngan psikologi seorang anak.
Hal
ini tidak terjadi di lingkungan keluarga dan masyarakat saja. Tetapi sebagian
besar sekolah dan lembaga pendidikan khususnya NTB sering kita dihadapkan dengan
keadaan seperti itu. Dua dari empat jenis kekerasan terhadap anak masih sering
kita jumpai meskipun hanya sebagian kecil yang terekspose. Sadar atau tidak
sadar, di sekolah misalnya, seorang guru terkadang hanya fokus mencurahkan
perhatiannya kepada beberapa siswa saja yang dianggap menonjol dari sisi
akademik. Padahal seharusnya yang diberikan perhatian lebih adalah siswa-siswa
atau peserta didik yang bermasalah. Seorang guru terkadang kurang merangkul
kebutuhan semua siswa dan tidak menyadari bahwa semua anak atau siswa memiliki
keistimewaan serta harus dipandang sama. Selain itu, sebagian siswa atau anak
di Indonesia begitu haus akan motivasi, baik dari guru maupun dari orang tua.
Motivasi merupakan kunci dari akselarasi tumbuh kembang anak.
Carson Bukan Si Dungu.
Kita
perlu belajar dari kisah seorang Carson yang ketika di Sekolah Dasar, dia
selalu disebut Si Dungu oleh teman-teman nya. Raportnya selalu dihiasi hanya
oleh nilai D dan F (Nilai terendah). Namun siapa yang mengira bahwa kemudian
dia menjadi satu-satunya ahli bedah syaraf yang berhasil melakukan operasi
kembar siam. Kenapa harus kisah Carson? Dalam film tersebut terdapat beberapa
cuplikan menarik tentang bagaimana seharusnya orang tua dan guru menjadi
motivator penting bagi seorang anak. Ketika Carson dalam posisi sebagai siswa
SD, gurunya meminta untuk membacakan berapa nilai yang dia peroleh setelah
ulangan harian. Dengan rasa malu dia menjawab “Nol”. Pastinya semua
teman-temannya tertawa. Tetapi gurunya justru bangga dan tersenyum dengan
ungkapan “tidak apa-apa, kamu pasti bisa, kamu harus berusaha lagi dan
semangat”. Tentunya ungkapan seorang guru saat itu dirasakan seperti perisai
penyelamat ketika semua pedang hukuman sudah berada di lehernya. Lalu bagaimana
dengan pendidik dan guru di NTB? Terlalu sering kita jumpai ketika nilai siswa
terpuruk, sebagian besar guru lantas melakukan kekerasan verbal dengan
ungkapan-ungkapan seperti “kamu tidak pernah belajar yah?”, atau yang paling
parah adalah “kamu bodoh sih”, atau mungkin sebagian dari guru tidak
mengeluarkan kata-kata, tapi ekspresi yang begitu menyakitkan siswa seperti
memasang muka masam, muka pesimis ataupun ekspresi pemarah.
Lalu bagaimana dengan orang tua siswa? Dalam cuplikan film ini, Ibunya carson adalah single parent yang tidak bisa baca tulis. Dia bekerja sebagai binatu dan petugas kebersihan tidak tetap. Namun yang menarik adalah sebagai seorang ibu, dia tidak ingin nasib anak-anaknya akan sama dengan nasibnya. Sehingga dia selalu memotivasi anaknya dengan mengucapkan “kamu anak yang cerdas”, “apa yang orang lain bisa, pasti kamu juga bisa”, dan bahkan ketika melihat nilai raport anaknya yang buruk, dia selalu berkata “kamu hanya perlu lebih serius dan lebih giat lagi”. Dan motivasi terakhir ketika Carson berkata kepada ibunya bahwa dia ingin menjadi seorang Dokter Bedah, ibunya gembira dan mengatakan “kamu bisa menjadi apapun yang kamu mau, selama kamu punya tekad yang kuat”. Ungkapan-ungkapan seperti ini tentunya kecil namun dampaknya sangat besar bagi perkembangan seorang anak.
Melihat posisi dan potensi orang tua sebagai motivator dan pendukung dominan, jika kita sedikit menoleh ke NTB, sebagian besar masyarakat kita selalu pesimis terhadap cita-cita anaknya. Bahkan ketika anak seorang petani, pembantu, buruh, dan bahkan anak seorang pegawai negeri pun berkata kepada orang tuanya bahwa mereka ingin menjadi dokter, presiden, menteri, dan yang lainnya, sebagian besar mereka mengeluarkan jawaban yang sama yaitu “memangnya kamu punya uang?”. Sudah pasti ungkapan ini akan membunuh harapan dan cita-cita anak. Dan secara tidak langsung bisa dikatakan bahwa anak-anak di Indonesia tidak memiliki cita-cita, karena cita-cita mereka telah direbut oleh orang tua masing-masing. Bahkan yang paling memprihatinkan adalah pilihan cita-cita sebagian besar anak Indonesia diputuskan dan ditentukan di tangan orang tua. Anak-anak tidak diberikan pilihan untuk menjadi apa yang mereka inginkan tetapi harus menerima takdir yang diberikan oleh orang tuanya. Sikap pesimisme yang mengakar kuat pada orang tua menjadikan generasi di Indonesia khususnya NTB, bekerja, berprofesi dan berkarya sebagai pewaris dari orang tuanya. Sebagian besar kita tidak sadar bahwa yang bisa mengubah taraf kehidupan kita adalah pendidikan. Dan kuncinya ada pada bagaimana orang tua memberi semangat kepada anak-anak.
Saham Bersama
Menjawab
persoalan kekerasan anak khususnya kekerasan emosional dan kekerasan verbal
sudah tentu dimulai dari kesadaran antara guru dan orang tua bahwa siswa adalah
saham milik bersama. Sehingga menjadikan siswa berhasil merupakan tanggung
jawab dan PR bersama. Karena merupakan tanggung jawab bersama, maka sudah pasti
antara guru dan orang tua harus melakukan sebuah interaksi yang intens untuk
mengevaluasi perkembangan siswa. Di setiap sekolah, dalam hal ini memiliki guru
Bidang Konseling (BK). BK dalam hal ini harus mengetahui fungsinya sebagai
fungsi kontrol sekolah terhadap siswa. Selama ini paradigma guru BK hanya
sebagai polisi yang yang memberi hukuman terhadap kriminalitas ringan yang
dilakukan oleh siswa. Dan sebagian orang tua hanya berinteraksi dengan guru
ketika anaknya melakukan suatu kesalahan dan pelanggaran. Sehingga sangat wajar
ketika beberapa orang tua siswa dipanggil oleh pihak sekolah, sebagian dari
mereka enggan memenuhi panggilan karena berasumsi bahwa anak-anak mereka telah
melakukan pelanggaran yang akan mempermalukan mereka.
Mungkin hanya beberapa sekolah yang sungguh-sungguh memanfaatkan partisipasi masyarakat dan orang tua dalam mengontrol perkembangan siswanya. Di luar itu, sebagian besar sekolah berinteraksi dengan orang tua siswa hanya ketika seorang siswa melakukan pelanggaran, rapat uang SPP, dan pertemuan-pertemuan lain yang tidak membahas secara khusus perkembangan dan evaluasi siswa. Interaksi yang intens dan berkesinambungan melalui program-program sekolah sudah tentu akan memberikan ciri tersendiri masing-masing sekolah. Sehingga secara langsung hal tersebut akan melahirkan budaya sekolah yang kuat dan berkualitas. Kontribusi budaya sekolah sangat besar dalam mendidik siswa menjadi lebih berbudaya dan berhasil.
Kita harus selalu optimis bahwa pendidikan di Negara kita akan menemukan masa keemasannya. Kapan itu akan terbentuk? Akan tergantung dari seberapa besar partisipasi kita dalam mendukungnya. Meskipun tidak bisa kita pungkiri bahwa saat ini sistem pendidikan kita menjadi jualan politik, namun kita harus memulai perbaikan pendidikan dari apa yang kita bisa dan apa yang ada di sekitar kita. Dengan begitu, paling tidak sebagian beban pendidikan akan sedikit berkurang.
0 comments:
Post a Comment