Bangsa ini telah melahirkan arsitek, seniman, dan ilmuwan besar
yang tidak pernah mengenal sistem pendidikan yang dengan congkak kita sebut
modern ini. Saya pikir anak-anak jalanan yang sering kita temui di perempatan
jalan tidak menyadari bahwa mereka blessed in disguise, tidak harus terbunuh kreativitasnya di sekolah-sekolah yang
menakutkan, dan membosankan. Jika kita tidak terlalu bebal atas kesalahan sistematik
ini, niscaya bangsa ini telah melahirkan Ronggowarsito dan Raden
Saleh muda yang menciptakan berbagai keajaiban dunia (Daniel Rasyid).
Kreativitas
yang tercover dalam kualitas SDM sangat dipengaruhi oleh pendidikan. Sehingga
wajar jika pendidikan merupakan bidang yang menjadi tulang punggung pelaksanaan
pembangunan nasional.
Tujuan
pendidikan khususnya di Indonesia adalah
membentuk manusia seutuhnya yang pancasilais, dimotori oleh pengembangan
afeksi. Tujuan khusus ini hanya bisa ditangani dengan penyelenggaraan
pendidikan yang memakai konsep sistem. Pendidikan sebagai sistem terbuka yang holistik,
sistematis, dan berkorelasi antara bagian-bagian di dalamnya, semakin sulit
berkembang. Perkembangan ilmu pendidikan sebagai bagian dari pendidikan Indonesia
yang utuh, semakin tertahan oleh karena kurangnya penelitian-penelitian
empiris. Selain itu, sistem pendidikan yang prosesnya terlihat kabur dalam
konteks mencapai tujuan, disebabkan oleh hal mendasar yaitu filsafat pancasila sebagai
azas pendidikan belum tuntas dijabarkan kedalam pendidikan.
Mencapai
tujuan pendidikan yang ditetapkan oleh pemerintah, baik yang tertulis dalam
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PPRI) maupun Undang-Undang Republik
Indonesia (UURI) menjadi pekerjaan yang sangat tidak efektif, menyita tenaga
dan beban pembiayaan yang tinggi. Terbukti dari jungkir balik nya kurikulum
pendidikan yang tidak pernah sampai pada tujuan pendidikan yang telah
ditetapkan. Kurikulum-kurikulum kemudian selalu menjadi kambing hitam yang
dikutuk dan dihina hanya karena ulah praktik pendidikan yang tidak pernah
mengacu pada pencapaian tujuan pendidikan. Selama ini, praktik pendidikan yang
terjadi sebagian besar hanya mengembangkan kognisi peserta didik ditambah
dengan sejumlah psikomotor. Sementara pengembangan afeksi hampir terabaikan.
Penjelasan
dari praktik yang tidak benar tersebut, terjawab ketika kita melihat kenyataan bahwa
peserta didik dan para orang tua yang ingin agar anak-anak dan pemuda naik
kelas dan dapat meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Untuk
maksud tersebut, maka harus mengikuti tes dan ujian masuk. Alat evaluasi yang
disediakan hampir seluruhnya mengukur kognisi. Maka sekolah dan lembaga
pendidikan formal lainnya menekankan pendidikan pada pengembangan kognisi agar
disenangi oleh masyarakat. Pendidikan sebagai sistem yang di dalamnya terdapat
sekolah, guru, dan komponen-komponen serta dipengaruhi oleh masyarakat dan
lingkungan sebagai suprasistem, sangat lemah dalam memahami tujuan pendidikan.
Maka janganlah heran jika sebagian besar Guru, sekolah, serta elemen-elemen
dalam sistem pendidikan menutup mata atas tujuan yang telah ditetapkan
pemerintah. Parahnya adalah sebagian besar dari mereka benar-benar tidak
memahami dan memaknai tujuan pendidikan yang ditulis dalam peraturan pemerintah
No 19 tahun 2005 dan pada Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.
Salah
satu ide pendidikan karakter yang yang dicetuskan belum lama ini diharapkan
mengurangi masalah moral dan keterpurukan karakter bangsa, justru memberikan
lahan baru kepada oknum-oknum yang hobi membuat proyek mengatasnamakan
perbaikan pendidikan. Kini ide tersebut seperti mahluk gaib yang entah di mana
keberadaannya. Karakter mana yang ingin diintegrasikan ke dalam kurikulum? Jika
jawabannya adalah karakter pancasila, maka apakah pancasila telah dijabarkan
sedmikian rupa kedalam kurikulum dan filsafat pendidikan umumnya? Jika
jawabannya adalah kearifan lokal, maka sentralisasi pendidikan yang telah
ditetapkan selama ini menjadi rintangan dalam efektifitas praktik pendidikan di
tataran lokal.
Alhasil,
kita selalu menjadi bangsa yang selalu disibukkan dengan berbagai bencana sosial,
ekonomi, budaya, politik, yang dipicu oleh krisis moneter. Dengan kata lain,
krisis multi-dimensi begitu terasa hingga saat ini sebagai trauma multidimensi.
Bencana bercorak Indonesia ini hanya bisa diantisipasi dengan menghadirkan
filsafat pendidikan dan teori pendidikan yang bercorak Indonesia. Sehingga
pendidikan sebagai sebuah sistem akan mampu menjadi sistem peringatan dini
(early warning system) dalam meningkatkan kualitas SDM menuju pembangunan
Indonesia yang lebih baik.
0 comments:
Post a Comment