“Pendidikan bukanlah semata-mata untuk menjadikan
siswa mampu memenuhi kebutuhan hidupnya.
Melainkan aga mereka mampu memenuhi
kebutuhan yang benar-benar humanis yaitu self respect dan self actualization
serta mengenal diri sendiri, lingkungan dan Tuhannya”
pemberitaan tentang usulan
kebijakan soal tes keperawanan bagi siswi di Kota Prabumulih, Sumatera Selatan
mengundang Kontraversi publik terkait. Beberapa kalangan setuju dengan
syarat, beberapa lagi menolak dengan beragam argumen dan antisipasi sosial. Memandang
pendidikan di Negara kita yang sudah carut marut dan selalu merangkak mencapai
finish bernama “tujuan”, tentunya pendidikan kita menambah kuota masalah dengan
membawa semboyan “satu pekerjaan belum beres, sudah mau mengambil pekerjaan
yang lain”.
Kemerosotan sosial masyarakat yang tidak lain
merupakan salah satu dampak dari pendidikan kita yang kurang bumbu moral dan
jauh dari prinsip humanis, membutuhkan keseriusan dalam membenahi pendidikan secara
sistematis sebagai sebuah system. Dan bukan malah berangkat dari satu ranting
pohon bernama “Status Perawan” dalam kerusakan hutan Pendidikan kita.
Katastrofi di setiap sektor di Negara kita, menjadi
suatu tolak ukur bahwa sebagian masyarakat kita belum mampu mengikuti zaman
yang perubahannya terjadi dengan cepat. Dengan kata lain bahwa pendidikan yang
menjadi hak masyarakat, disediakan dengan kualitas rendah yang tidak menjadikan
masyarakat khususnya siswa sampai pada self
respect dan self actualization. Pendidikan
melalui sekolah yang memberikan mind set pada masyarakat bahwa sekolah sebatas
lulus ujian dan ijazah perguruan tinggi ternyata tidak maksimal dalam
menjadikan manusia Indonesia mengenal diri, lingkungan dan Tuhannya secara
utuh. Sehingga penulis sangat yakin bahwa memperbaiki moral masyarakat
khususnya generasi, seharusnya menjadikan pendidikan sebagai alat utama dalam
membangun masyarakat yang berpikir sistematis dan ilmiah dan religious.
Selain tes keperawanan pada siswa dapat menimbulkan
dampak psikologis individu, tidak menutup kemungkinan akan muncul permasalahan
baru yang merusak tatanan sosial masyarakat serta proyek-proyek liberal yang
merugikan masyarakat. Setelah mengetahui siswa tidak perawan, lalu mau apa? Pertanyaan
ini seharusnya menjadi bahan kajian yang serius dan cerdas oleh semua pengambil kebijakan di daerah. Meskipun
hasil tes keperawanan tidak dipublikasikan, hal ini tetap akan merusak
psikologi individu dalam bersosialisasi.
Bukankah tujuan pendidikan kita adalah menuju undang
dasar 1945 dan nilai pancasila? Makna merdeka yang telah kita dapatkan bukanlah
kemerdekaan yang didapatkan oleh manusia perawan. Tapi manusia-manusia yang
memiliki nilai dan semangat juang untuk memikirkan nasib generasinya.
Pada akhirnya, saya sangat tidak setuju dalam bentuk
apapun terhadap tes keperawanan yang merambah dunia pendidikan. Bagi saya, tes
keperawanan hanyalah sensasi yang yang tidak tepat waktu dan tempat. Serta suatu
metode yang tidak cerdas dalam mewujudkan bangsa yang bermoral dan tidak
sejalan dengan nilai-nilai pancasila dan UUD 1945.
1 comments:
kayaknya yang punya ide tes perawan masih penasaran dengan jumlah status perawan di Indonesia utamanya di sekolah pak...ckckckck
Post a Comment