Sejak rencana akan
diberlakukannya kurikulum 2013 hingga saat ini dimana “barang ini” mulai diberlakukan, telah melewati berbagai
pro dan kontra yang cukup serius. Kemudian berdampak pada kenyataan bahwa tidak semua sekolah akan menerapkan kurikulum ini. Kurikulum yang
katanya sebagai perbaikan dari KTSP dan sebagai jawaban semua kegelisahan
pendidikan kita, diberlakukan hanya bagi sekolah tertentu yang ditunjuk dan
yang gurunya siap. hal ini bisa kita lihat kabupaten/kota yang menolak
untuk menerapkan kurikulum ini pada
sekolah-sekolah yang tidak ditunjuk. Terlepas dari beragam alasan, beberapa
kabupaten/kota seharusnya menghindari disvaritas pendidikan dengan memberi
perlakuan pada setiap satuan pendidikan secara merata. Baik dari segi kualitas
maupun kuantitas.
Melihat Draft Kurikulum
2013, serta berdasarkan pengakuan Kemendikbud pada saat kurikulum ini berada di
masa uji publik, bahwa terdapat tiga “jurus” kurikulum 2013 dalam posisinya
sebagai solusi atas pendidikan kita. Atau dalam draftnya, bisa kita mulai dari
tiga dimensi pengembangan pendidikan yang digunakan oleh kurikulum 2013 sebagai
kunci keberhasilan. Dimensi pertama adalah peningkatan efektifitas belajar, Kurikulum
dan pelaksananya, guru, menjadi kunci. Dimensi
kedua, meningkatkan lama tinggal di sekolah hingga jenjang SMU melalui
program Pendidikan Menengah Universal, atau program Wajib Belajar 12 tahun. Dimensi ketiga adalah menambah jam
belajar di sekolah hingga sore hari. Ketiga jurus ini harus kita berikan
apresiasi . sebagai praktisi pendidikan, penulis ingin berusaha kritis terutama
terhadap tiga jurus yang telah dikemukakan sebelumnya sebagai bahan pertimbangan
dalam membantu meningkatkan kualitas pendidikan.
Sebagai jurus yang
tidak berdiri sendiri dan tercover dalam sistem kurikulum, tentunya tiga
dimensi tersebut akan saling berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Ketiga dimensi ini bisa kita
pandang sebagai dua kategori yaitu dimensi pertama lebih bersifat kualitas, dan
dimensi kedua dan ketiga lebih bersifat kuantitas. Dimensi kedua dan ketiga ini
hanya akan berjalan dengan baik mencapai tujuannya apabila dimensi pertama
yaitu efektifitas pembelajaran oleh guru dan sekolah bisa dilakukan. Bahakn dimensi
kedua, bisa berdampak serius terhadap dimensi pertama. Dalam banyak kasus,
dimensi kedua dan ketiga justru bisa menghambat dimensi yang pertama. Ini telah
ditunjukkan oleh Ivan Illich dan bisa kita amati secara empiris di sekitar kita
saat ini : menurut Rosyid (2013), semakin banyak sekolah, semakin lama bersekolah,
semakin besar anggaran pendidikan, semakin banyak sarjana, tapi masyarakat tampaknya
tidak semakin terdidik.
Beberapa praktisi
pendidikan dan peneliti mengatakan bahwa asumsi tentang semakin lama waktu
sekolah (wajib belajar 12 tahun) akan semakin baik –dimensi kedua-, serta
asumsi bahwa semakin lama di sekolah (waktu belajar) akan semakin baik –
dimensi ketiga- hanya akan valid apabila dimensi yang pertama yaitu efektivitas
belajar juga baik. Bukankah hal itu sudah bisa kita lihat? Bahwa beragam
kurikulum yang diterapkan diindonesia ujung-ujungnya selalu yang mendapat
perhatian penuh adalah meningkatkan metode, strategi, dan efektifitas belajar. Dimensi
pertama yang lebih mengarah kepada peningkatan kualitas ini cendrung lebih sulit draipada dimensi kedua
dan ketiga yang berkaitan dengan ketersediaan anggaran, sarana dan prasarana.
Sehingga bisa
dikatakan, kegagalan kurikulum ini (semoga saja tidak) dan keberhasilannya
sangat ditentukan oleh kualitas guru yang berada pada sebuah lembaga bernama
sekolah. Sekolah saat ini terlihat tidak mampu menjadi tempat refleksi personal
terhadap lingkungannya. Sehingga keberhasilan siswa sangat tergantung dari
bagaimana siswa tersebut mengenal dan memahami pengalaman diri sendiri
berdasarkan pengalaman guru sebagai panutan. Maka Kurikulum 2013 seperti gunung
merapi yang selalu berada pada status waspada dengan guru sebagai JURU KUNCI.
Apabila sekolah melalui
guru gagal menjadi tempat belajar dan memahami diri seorang siswa terhadap
lingkungannya, maka sekolah hanya akan menjadi lembaga omong kosong tempat
terbunuhnya kreativitas manusia dan karantina kebebasan berpikir.
0 comments:
Post a Comment