Mar 7, 2013

“1)  Demi masa. 2)  Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, 3)Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran” – (Al’Ashr).
Masyarakat Indonesia khususnya  Nusa Tenggara Barat yang mayoritasnya muslim, tentunya sering membaca ayat di atas. tidak bisa kita pungkiri bahwa provinsi yang memiliki tiga etnis mayoritas tentunya menjunjung tinggi Al Qur’an dan agama sebagai pondasi dari adat istiadat dan kebudayaan masing-masing. Namun hanya segelintir masyarakat yang dalam kehidupanya memaknai dan mendirikan rambu-rambu agama dan adat istiadat.
Di tengah krisis multidimensi yang serba carut marut, manusia semakin kehilangan jati dirinya dalam konteks mengenal Tuhan dan  mencari tauladan. Sekulerisme yang telah duduk manis dalam tiap dimensi kehidupan manusia kian memupuk permisivisme hingga telinga dan mata pun berkeliaran di tengah kegelapan dalam membaca diri mereka sebagai mahluk sosial. Semua agama pun menempatkan Nasihat pada kedudukan yang begitu penting. Tidak terkecuali agama Islam yang begitu mulia mengajarkan kepada pemeluknya agar senantiasa saling menjaga satu sama lain menggunakan nasihat.
Nasihat pada era ini, pada umumnya selalu dihadang dengan malu. Malu memberi nasihat dan malu menerima nasihat. Nasihat lahir bersamaan dengan adanya pendidikan pada manusia. Secara filsafat, pendidikan itu sudah ada sejak manusia itu ada. Karena kata lain dari Nasihat itu adalah suatu pendidikan yang sifatnya mengarahkan manusia menjadi makhluk yang lebih baik. Pendidikan secara umum dipisahkan menjadi tiga jenis. Pertama, pendidikan yang terjadi dalam masyarakat. kedua, pendidikan formal oleh suatu kelompok atau Negara. Dan Ketiga adalah pendidikan keluarga. Dalam masing-masing pendidikan tersebut memiliki ruang dan peluang nasihat  yang besar. Tiga faktor pendidikan  bisa berjalan dalam masing-masing jenis pendidikan yaitu, (1) pendidik, (2) isi didikan (3) peserta didik. Ketiga unsur tersebut memiliki peranan masing-masing dalam menjalankan pendidikan ataupun nasihat hingga satu sama lain membentuk Reciprochal Relationship (saling berhubungan).

Pendidik
Masyarakat sebagai kelompok merupakan tempat pendidikan itu berjalan secara sadar dan tidak sadar. Yang mengambil peran sebagai pendidik dalam masyarakat adalah prilaku masyarakat itu sendiri. Sehingga prilaku-prilaku tersebut disaring oleh generasi baik vertical maupun horizontal hingga melahirkan tauladan. Tauladan merupakan pendidik utama dalam kehidupan masyarakat. Permasalahannya saat ini adalah paradigma ketauladanan yang sudah bergeser dari yang seharusnya. Seorang kiayi, Tuan Guru atau tokoh agama yang senantiasa berkhutbah dengan lantunan ayat-ayat suci terlalu sering bertolak belakang dengan tindakannya dalam kehidupan masyarakat. Contoh ini hadir karena melihat NTB menempatkan mereka sebagai tokoh yang memiliki peluang besar dalam menjadi tauladan dan mendidik masyarakat. Bupati, wali kota,  Kepala daerah, hingga kepala desa dan kepala dusun yang seharusnya mengayomi dan memberikan rasa aman, sudah secara terbuka memamerkan kelicikan, kedustaan, perampokan, kedzoliman hingga ancaman kepada masyarakat demi mempertahankan hidup dan kepentingan pribadi. Sarjana-sarjana sebagai agen of change sudah membuang rasa malu dan berani melakukan prilaku negative dengan memarginalkan satu sama lain. Oknum Guru sebagai Pendidik berani melakukan tindakan yang mengancam rasa aman peserta didiknya. Individu-individu dalam masyarakat, dalam konteks umur lebih tua, berani menulis kalimat-kalimat hujatan, tidak senonoh, amoral, buta etika dalam melakukan komunikasi di jejaring sosial Facebook, dan twiter. Memang harus juga kita akui bahwa dalam masyarakat memang terdapat manusia yang bisa menjadi tauladan, yaitu yang sesuai antara ucapan dan perbuatan. Namun, mereka hanya beberapa diantara ribuan orang dalam masyarakat. Dan nasihat pun tenggelam bersama mereka hingga setiap orang sibuk mengangkat diri masing-masing menjadi yang paling benar. Bagaimana lagi hidup ini, jika pemimpin sudah tidak punya nasihat, masyarakat sudah meninggalkan dirinya sebagai pemberi nasihat, guru-guru melupakan dirinya sebagai pemberi nasihat, maka dipastikan benturan-benturan horizontal maupun vertical akan menggantikan posisi nasihat sebagai raja, dan egoisme sebagai ratunya.

Isi Didikan
            Masyarakat NTB yang majemuk merupakan gambaran Indonesia dalam konteks kebinekaan. Tentunya kekayaan budaya menjadi suatu aset penting dalam meningkatkan pendidikan. Rendahnya SDM NTB yang salah satu faktor penyebabnya adalah rendahnya mutu pendidikan menjadikan manusia NTB tidak bisa mengolah, meletarikan dan bahkan memanfaatkan kekayaan budayanya. Semakin banyak manusia mendapatkan pendidikan maka semakin berbudaya orang terebut. Lalu semakin tinggi budaya seseorang maka pendidikan pun akan semakin tinggi dalam konteks kualitas. Kebudayaan berbagai etnis dan beberapa kelompok masyarakat  di NTB memiliki cara tersendiri dalam mendidik generasi masing-masing dan mengekspresikan nasihat. Hanya saja nasihat-nasihat melalui budaya dan ekspresi kebudayaan kurang diinternalisasi oleh masyarakat dan bergeser menjadi sebuah materi lomba dan hiburan panggung semata.
            Berkaca dari Islam sebagai agama mayoritas di NTB, menjaga kekayaan nasihat dan bahkan hamper seluruh ajaran islam ini disampaikan melalui nasihat baik perbuatan maupun perkataan.  Nasihat-nasihat ataupun ajaran agama yang sejak berabad-abad silam telah ada, dan sebagian besar dari kita bisa merasakannya, tentunya tidak serta merta bertahan dengan sendirinya tanpa ada aliran pewaris dan penjagaan isi nasihat dari zaman ke zaman. Melihat kondisi saat ini, sebagai generasi yang bertanggung jawab terhadap masa depan dan generasi berikutnya, tentunya kita harus berfikir apa yang akan kita wariskan. Jika kita benar akan mewariskan agama, berapa banyak masyarakat yang tidak tahu ilmu agama? Berapa banyak dari kita sebagai orang tua yang tidak memahami ilmu agama? Berapa banyak dari anak-anak kita yang tidak peduli dengan agama? Jika kita kemudian ingin mewariskan budaya, berapa banyak dari masyarakat kita yang acuh terhadap budaya? Berapa banyak dari kita sebagai orang tua yang tidak mengetahui nasihat-nasihat kebudayaan yang harus disampaikan kepada anak-anaknya? Berapa banyak dari anak-anak kita yang tidak peduli dengan nilai-nilai kearifan local? Jika pilihan kita adalah ingin mewariskan sains dan teknologi, sains dan teknologi seperti apa? Bukankah kita saat ini sedang terlena menjadi masyarakat komsumtif?  Bukankah pendidikan kita saat ini sedang sakit dan hanya mampu berdiri untuk menyiapkan anak-anak manusia menjadi buruh industry? Sudah seharusnya kita semua bertanggung jawab untuk memahami segala aset kekayaan budaya dan ilmu yang kita miliki. Lalu kita tulis sebagai sesuatu yang harus kita wariskan melalui nasihat dan pendidikan bercorak Indonesia.
            Kurangnya wawasan masyarakat tentang agama, budaya, serta ilmu menjadi factor penyebab hilangnya nasihat dalam kehidupan sosial. Karena tanpa wawasan dan ilmu, kita hanya akan mewariskan kehampaan kepada anak-anak kita. Dan pada akirnya generasi kita seperti mata rantai rapuh yang memisahkan antara generasi sebelum dan sesudahnya.

Peserta Didik
            Peserta didik biasanya diartikan sebagai siswa. namun secara luas, peserta didik adalah semua manusia yang secara sadar atau tidak sadar sedang melihat, mendengar dan merasakan pendidikan di setiap tempat. Sudah bukan rahasia lagi bahwa siswa sebagai peserta didik pendidikan formal menjadi hobi tawuran, bahwa pemuda sebagai peserta didik di masyarakat terlena dengan sikap hedonis, tidak peduli, dan seperti sebuah kapas beterbangan yang tidak mengetahui arah dan tujuan. Moral dan etika sudah tidak penting bagi sebagian dari mereka. Nasihat-nasihat hamper tenggelam bagi sebagian mereka. Disamping kurangnya tauladan yang menasihati mereka sebagai peserta didik, juga disebabkan oleh kurangnya tokoh-tokoh yang bisa dipercaya dan digugu dalam konteks memberi nasihat. Sungguh telah banyak bukti bahwa kecerdasan tidak cukup tanpa kekuatan karakter.  
            Nasihat menjadi penting ketika pendidikan kita tidak mampu berdiri ataupun berlari. Baik pemberi nasihat, isi nasihat maupun yang diberi nasihat saling mendukung satu sama lain. Ketiga unsure ini adalah hal yang harus kita jaga dan kembangkan dalam menjadikan NTB lebih baik. Karena pondasi dari masyarakat yang madani adalah kebudayaan yang tinggi dan pendidikan yang berkualitas.
           
             

0 comments: