Dec 11, 2014


Belum genap satu tahun setelah diberlakukannya Kurikulum 2013 (K-13), kurikulum menjadi bagian dari perbincangan hangat di beberapa media mengingat derasnya pro dan kontra. Kali ini K-13 memiliki judul baru  yaitu “Dibatasi pada sekolah terpilih” setelah dua judul lain disingkirkan yaitu “dihapus total” dan “dilaksanakan seperti biasanya , lalu diperbaiki sambil jalan”. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan (Kompas, 5/12/2014) yang baru-baru ini mempertahankan K-13 dan pelaksanaannya hanya bagi sekolah terpilih dan mengajukan diri, menyiratkan tanggung jawab besar bagi guru, sekolah, perguruan tinggi serta lembaga-lembaga pemerintah daerah termasuk NTB. Ketika K-13 diberlakukan sebagai penyempurnaan kurikulum 2006, tidak sedikit resistensi dari kalangan praktisi dan akademisi bermunculan selain pihak yang mendukung. Resistensi dan kontra K-13 semakin deras kemudian setelah banyaknya masalah dalam pelaksanaannya. Tidak adanya buku yang menunjang, guru dan sekolah yang bingung terhadap system penilaian, siswa yang terlantar, pelatihan guru yang terkesan seadanya, dan bahkan ada beberapa sekolah yang menjalankan K-13 tidak sesuai dengan sejatinya K-13. Masalah-masalah tersebut bahkan menjalar pada alasan klasik seperti kurangnya kualitas guru di beberapa sekolah serta jual beli buku paket K-13. Permasalahan tersebut sepertinya mengisaratkan kurangnya rasa tanggung jawab beberapa pihak yang terkait dalam pelaksanaan K-13. Sehingga hingga saat ini, fenomena “saling menyalahkan” antara berbagai elemen pendidikan, baik guru, sekolah, dinas terkait bahkan perguruan tinggi di beberapa daerah termasuk NTB masih sangat kental.

Tanggung Jawab Besar
Tanggung jawab merupakan hal yang prinsip yang harus dipegang oleh semua orang untuk meraih hasil yang maksimal. Mencapai pendidikan yang dicita-citakan (tujuan pendidikan) merupakan alasan hadirnya kurikulum. Kurikulum merupakan ruh, spirit, dan vital idea yang menjadi landasan bagi terselenggaranya pendidikan yang baik.  Kurikulum termasuk K-13 yang sangat erat kaitannya dengan komponen pendidikan lainnya selalu menuntut tanggung jawab besar kepada pelakunya seperti guru, sekolah, perguruan tinggi dan lembaga pemerintah terkait (pusat maupun daerah).  Judul baru K-13 menurut saya adalah sebagai sebuah pesan tersirat kepada guru, sekolah dan pemerintah daerah agar memiliki tanggung jawab besar dan keinginan kuat dalam menjalankan kurikulum. Tanggung jawab dan semangat tersebut tersirat dalam “sekolah terpilih” dan “boleh mengajukan diri” yang diungkapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Diantara tanggung jawab tersebut adalah, Pertama. Guru harus belajar belajar dengan  sungguh-sungguh dalam memahami dan menjalankan kurikulum. Sebagai komponen penting dalam pembelajaran sekaligus “pelaku” kurikulum, guru menjadi kunci utama agar lembaga penyelenggara pendidikan bernama sekolah dipilih dan layak menjalankan K-13. Kedua, Managemen Sekolah yang baik. Managemen sekolah menuntut adanya tanggung jawab besar yang dimiliki oleh pimpinan lembaga atau kepala sekolah yang dalam hal ini sebagai educator, administrator, Supervisor, leader, dan pencipta iklim kerja yang baik. Dengan peran kepala sekolah yang baik maka sekolah tersebut bisa dipilih dan layak mengajukan diri dalam menerapkan K-13. Ketiga, Peran dan Dukungan pemerintah daerah. Pemerintah daerah melalui lembaga dan dinas terkait harus memiliki keinginan, keseriusan, dan semangat dalam berinovasi, planning serta  dukungan penuh kepada pendidik (guru) dan pihak sekolah. Baik dalam bentuk pelatihan profesi maupun pelatihan lain yang mendukung tercapainya pemahaman kuat dalam menjalankan K-13.  Ketiga tanggung jawab harus dikuatkan secara bersamaan. Karena K-13 sudah berpesan “siapa cepat dia dapat”. Hanya daerah dan sekolah yang serius serta sungguh-sungguh yang bisa menerapkan K-13.

Ancaman Klasik
Tidak ada satu pun kebijakan, keputusan dan sejenisnya yang lahir tanpa resiko (ancaman). Begitu pula K-13 yang tampil dengan judul baru. Sebelum pelaksanaannya,  K-13 pun pernah melewati masa uji coba di beberapa sekolah di Indonesia. Kejadian yang sama juga pernah dialami oleh “saudara tuanya” kurikulum Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) namun tanpa tindak lanjut. Begitu juga dengan KBK dan  kurikulum 2006 (KTSP). Mereka semua adalah “merk” yang lahir dan mati karena situasi politik. K-13 pun saat ini sedang berpacu dengan politik. Entah K-13 akan terlebih dahulu mencapai finish (tujuan pendidikan) atau malah sekedar kurikulum “uji coba” itu akan tergantung dari sejauh mana kesungguhan dan keinginan memiliki tanggung jawab besar  di atas. Apakah NTB akan menjadi daerah terdepan dalam mencapai pendidikan melalui K-13, menjadi daerah percontohan K-13 atau bahkan hanya menjadi pengekor itu tergantung dari sejauh mana semangat dan keinginan kita semua. Karena sejatinya pendidikan itu adalah tanggung jawab semua orang dengan tanggung jawab yang proporsional. Akhirnya saya berharap kepada kita semua khususnya yang menjadi bagian dari faktor tercapainya pendidikan, agar selalu memiliki tanggung jawab besar, dan optimis akan adanya cahaya harapan bagi kemajuan pendidikan Indonesia hususnya NTB. 

0 comments: