Mar 1, 2013



Bangsa ini telah melahirkan arsitek, seniman, dan ilmuwan besar yang tidak pernah mengenal sistem pendidikan yang dengan congkak kita sebut modern ini. Saya pikir anak-anak jalanan yang sering kita temui di perempatan jalan tidak menyadari bahwa mereka blessed in disguise, tidak harus terbunuh kreativitasnya di sekolah-sekolah yang menakutkan, dan membosankan. Jika kita tidak terlalu bebal atas kesalahan sistematik ini, niscaya bangsa ini telah melahirkan Ronggowarsito dan Raden Saleh muda yang menciptakan berbagai keajaiban dunia (Daniel Rasyid).
Kreativitas yang tercover dalam kualitas SDM sangat dipengaruhi oleh pendidikan. Sehingga wajar jika pendidikan merupakan bidang yang menjadi tulang punggung pelaksanaan pembangunan nasional.
Tujuan pendidikan khususnya  di Indonesia adalah membentuk manusia seutuhnya yang pancasilais, dimotori oleh pengembangan afeksi. Tujuan khusus ini hanya bisa ditangani dengan penyelenggaraan pendidikan yang memakai konsep sistem. Pendidikan sebagai sistem terbuka yang holistik, sistematis, dan berkorelasi antara bagian-bagian di dalamnya, semakin sulit berkembang. Perkembangan ilmu pendidikan sebagai bagian dari pendidikan Indonesia yang utuh, semakin tertahan oleh karena kurangnya penelitian-penelitian empiris. Selain itu, sistem pendidikan yang prosesnya terlihat kabur dalam konteks mencapai tujuan, disebabkan oleh hal mendasar yaitu filsafat pancasila sebagai azas pendidikan belum tuntas dijabarkan kedalam pendidikan.
Mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan oleh pemerintah, baik yang tertulis dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PPRI) maupun Undang-Undang Republik Indonesia (UURI) menjadi pekerjaan yang sangat tidak efektif, menyita tenaga dan beban pembiayaan yang tinggi. Terbukti dari jungkir balik nya kurikulum pendidikan yang tidak pernah sampai pada tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Kurikulum-kurikulum kemudian selalu menjadi kambing hitam yang dikutuk dan dihina hanya karena ulah praktik pendidikan yang tidak pernah mengacu pada pencapaian tujuan pendidikan. Selama ini, praktik pendidikan yang terjadi sebagian besar hanya mengembangkan kognisi peserta didik ditambah dengan sejumlah psikomotor. Sementara pengembangan afeksi hampir terabaikan.
Penjelasan dari praktik yang tidak benar tersebut, terjawab ketika kita melihat kenyataan bahwa peserta didik dan para orang tua yang ingin agar anak-anak dan pemuda naik kelas dan dapat meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Untuk maksud tersebut, maka harus mengikuti tes dan ujian masuk. Alat evaluasi yang disediakan hampir seluruhnya mengukur kognisi. Maka sekolah dan lembaga pendidikan formal lainnya menekankan pendidikan pada pengembangan kognisi agar disenangi oleh masyarakat. Pendidikan sebagai sistem yang di dalamnya terdapat sekolah, guru, dan komponen-komponen serta dipengaruhi oleh masyarakat dan lingkungan sebagai suprasistem, sangat lemah dalam memahami tujuan pendidikan. Maka janganlah heran jika sebagian besar Guru, sekolah, serta elemen-elemen dalam sistem pendidikan menutup mata atas tujuan yang telah ditetapkan pemerintah. Parahnya adalah sebagian besar dari mereka benar-benar tidak memahami dan memaknai tujuan pendidikan yang ditulis dalam peraturan pemerintah No 19 tahun 2005 dan pada Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.
Salah satu ide pendidikan karakter yang yang dicetuskan belum lama ini diharapkan mengurangi masalah moral dan keterpurukan karakter bangsa, justru memberikan lahan baru kepada oknum-oknum yang hobi membuat proyek mengatasnamakan perbaikan pendidikan. Kini ide tersebut seperti mahluk gaib yang entah di mana keberadaannya. Karakter mana yang ingin diintegrasikan ke dalam kurikulum? Jika jawabannya adalah karakter pancasila, maka apakah pancasila telah dijabarkan sedmikian rupa kedalam kurikulum dan filsafat pendidikan umumnya? Jika jawabannya adalah kearifan lokal, maka sentralisasi pendidikan yang telah ditetapkan selama ini menjadi rintangan dalam efektifitas praktik pendidikan di tataran lokal.
Alhasil, kita selalu menjadi bangsa yang selalu disibukkan dengan berbagai bencana sosial, ekonomi, budaya, politik, yang dipicu oleh krisis moneter. Dengan kata lain, krisis multi-dimensi begitu terasa hingga saat ini sebagai trauma multidimensi. Bencana bercorak Indonesia ini hanya bisa diantisipasi dengan menghadirkan filsafat pendidikan dan teori pendidikan yang bercorak Indonesia. Sehingga pendidikan sebagai sebuah sistem akan mampu menjadi sistem peringatan dini (early warning system) dalam meningkatkan kualitas SDM menuju pembangunan Indonesia yang lebih baik.
Next
Newer Post
Previous
This is the last post.

0 comments: