Aug 22, 2013

Sejak rencana akan diberlakukannya kurikulum 2013 hingga saat ini dimana “barang ini”  mulai diberlakukan, telah melewati berbagai pro dan kontra yang cukup serius. Kemudian berdampak pada kenyataan bahwa tidak semua sekolah akan menerapkan kurikulum ini. Kurikulum yang katanya sebagai perbaikan dari KTSP dan sebagai jawaban semua kegelisahan pendidikan kita, diberlakukan hanya bagi sekolah tertentu yang ditunjuk dan yang gurunya siap. hal ini bisa kita lihat kabupaten/kota yang menolak untuk menerapkan kurikulum ini  pada sekolah-sekolah yang tidak ditunjuk. Terlepas dari beragam alasan, beberapa kabupaten/kota seharusnya menghindari disvaritas pendidikan dengan memberi perlakuan pada setiap satuan pendidikan secara merata. Baik dari segi kualitas maupun kuantitas.

Melihat Draft Kurikulum 2013, serta berdasarkan pengakuan Kemendikbud pada saat kurikulum ini berada di masa uji publik, bahwa terdapat tiga “jurus” kurikulum 2013 dalam posisinya sebagai solusi atas pendidikan kita. Atau dalam draftnya, bisa kita mulai dari tiga dimensi pengembangan pendidikan yang digunakan oleh kurikulum 2013 sebagai kunci keberhasilan.  Dimensi pertama adalah peningkatan efektifitas belajar, Kurikulum dan pelaksananya, guru, menjadi kunci. Dimensi kedua, meningkatkan lama tinggal di sekolah hingga jenjang SMU melalui program Pendidikan Menengah Universal, atau program Wajib Belajar 12 tahun. Dimensi ketiga adalah menambah jam belajar di sekolah hingga sore hari. Ketiga jurus ini harus kita berikan apresiasi . sebagai praktisi pendidikan, penulis ingin berusaha kritis terutama terhadap tiga jurus yang telah dikemukakan sebelumnya sebagai bahan pertimbangan dalam membantu meningkatkan kualitas pendidikan.

Sebagai jurus yang tidak berdiri sendiri dan tercover dalam sistem kurikulum, tentunya tiga dimensi tersebut akan saling berhubungan dan saling mempengaruhi  satu sama lain. Ketiga dimensi ini bisa kita pandang sebagai dua kategori yaitu dimensi pertama lebih bersifat kualitas, dan dimensi kedua dan ketiga lebih bersifat kuantitas. Dimensi kedua dan ketiga ini hanya akan berjalan dengan baik mencapai tujuannya apabila dimensi pertama yaitu efektifitas pembelajaran oleh guru dan sekolah bisa dilakukan. Bahakn dimensi kedua, bisa berdampak serius terhadap dimensi pertama. Dalam banyak kasus, dimensi kedua dan ketiga justru bisa menghambat dimensi yang pertama. Ini telah ditunjukkan oleh Ivan Illich dan bisa kita amati secara empiris di sekitar kita saat ini : menurut Rosyid (2013), semakin banyak sekolah, semakin lama bersekolah, semakin besar anggaran pendidikan, semakin banyak sarjana, tapi masyarakat tampaknya tidak semakin terdidik. 

Beberapa praktisi pendidikan dan peneliti mengatakan bahwa asumsi tentang semakin lama waktu sekolah (wajib belajar 12 tahun) akan semakin baik –dimensi kedua-, serta asumsi bahwa semakin lama di sekolah (waktu belajar) akan semakin baik – dimensi ketiga- hanya akan valid apabila dimensi yang pertama yaitu efektivitas belajar juga baik. Bukankah hal itu sudah bisa kita lihat? Bahwa beragam kurikulum yang diterapkan diindonesia ujung-ujungnya selalu yang mendapat perhatian penuh adalah meningkatkan metode, strategi, dan efektifitas belajar. Dimensi pertama yang lebih mengarah kepada peningkatan kualitas ini  cendrung lebih sulit draipada dimensi kedua dan ketiga yang berkaitan dengan ketersediaan anggaran, sarana dan prasarana.

Sehingga bisa dikatakan, kegagalan kurikulum ini (semoga saja tidak) dan keberhasilannya sangat ditentukan oleh kualitas guru yang berada pada sebuah lembaga bernama sekolah. Sekolah saat ini terlihat tidak mampu menjadi tempat refleksi personal terhadap lingkungannya. Sehingga keberhasilan siswa sangat tergantung dari bagaimana siswa tersebut mengenal dan memahami pengalaman diri sendiri berdasarkan pengalaman guru sebagai panutan. Maka Kurikulum 2013 seperti gunung merapi yang selalu berada pada status waspada dengan guru sebagai JURU KUNCI.

Apabila sekolah melalui guru gagal menjadi tempat belajar dan memahami diri seorang siswa terhadap lingkungannya, maka sekolah hanya akan menjadi lembaga omong kosong tempat terbunuhnya kreativitas manusia dan karantina kebebasan berpikir.

0 comments: