Aug 19, 2013

“Pendidikan bukanlah semata-mata untuk menjadikan siswa mampu memenuhi kebutuhan hidupnya.
Melainkan aga mereka mampu memenuhi kebutuhan yang benar-benar humanis yaitu self respect dan self actualization serta mengenal diri sendiri, lingkungan dan Tuhannya”
pemberitaan tentang usulan kebijakan soal tes keperawanan bagi siswi di Kota Prabumulih, Sumatera Selatan mengundang Kontraversi publik terkait. Beberapa kalangan setuju dengan syarat, beberapa lagi menolak dengan beragam argumen dan antisipasi sosial. Memandang pendidikan di Negara kita yang sudah carut marut dan selalu merangkak mencapai finish bernama “tujuan”, tentunya pendidikan kita menambah kuota masalah dengan membawa semboyan “satu pekerjaan belum beres, sudah mau mengambil pekerjaan yang lain”.

Kemerosotan sosial masyarakat yang tidak lain merupakan salah satu dampak dari pendidikan kita yang kurang bumbu moral dan jauh dari prinsip humanis, membutuhkan keseriusan dalam membenahi pendidikan secara sistematis sebagai sebuah system. Dan bukan malah berangkat dari satu ranting pohon bernama “Status Perawan” dalam kerusakan hutan Pendidikan kita.

Katastrofi di setiap sektor di Negara kita, menjadi suatu tolak ukur bahwa sebagian masyarakat kita belum mampu mengikuti zaman yang perubahannya terjadi dengan cepat. Dengan kata lain bahwa pendidikan yang menjadi hak masyarakat, disediakan dengan kualitas rendah yang tidak menjadikan masyarakat khususnya siswa sampai pada self respect dan self actualization. Pendidikan melalui sekolah yang memberikan mind set pada masyarakat bahwa sekolah sebatas lulus ujian dan ijazah perguruan tinggi ternyata tidak maksimal dalam menjadikan manusia Indonesia mengenal diri, lingkungan dan Tuhannya secara utuh. Sehingga penulis sangat yakin bahwa memperbaiki moral masyarakat khususnya generasi, seharusnya menjadikan pendidikan sebagai alat utama dalam membangun masyarakat yang berpikir sistematis dan ilmiah dan religious.
Selain tes keperawanan pada siswa dapat menimbulkan dampak psikologis individu, tidak menutup kemungkinan akan muncul permasalahan baru yang merusak tatanan sosial masyarakat serta proyek-proyek liberal yang merugikan masyarakat. Setelah mengetahui siswa tidak perawan, lalu mau apa? Pertanyaan ini seharusnya menjadi bahan kajian yang serius dan cerdas  oleh semua pengambil kebijakan di daerah. Meskipun hasil tes keperawanan tidak dipublikasikan, hal ini tetap akan merusak psikologi individu dalam bersosialisasi.
Bukankah tujuan pendidikan kita adalah menuju undang dasar 1945 dan nilai pancasila? Makna merdeka yang telah kita dapatkan bukanlah kemerdekaan yang didapatkan oleh manusia perawan. Tapi manusia-manusia yang memiliki nilai dan semangat juang untuk memikirkan nasib generasinya.
Pada akhirnya, saya sangat tidak setuju dalam bentuk apapun terhadap tes keperawanan yang merambah dunia pendidikan. Bagi saya, tes keperawanan hanyalah sensasi yang yang tidak tepat waktu dan tempat. Serta suatu metode yang tidak cerdas dalam mewujudkan bangsa yang bermoral dan tidak sejalan dengan nilai-nilai pancasila dan UUD 1945.




1 comments:

Anonymous said...

kayaknya yang punya ide tes perawan masih penasaran dengan jumlah status perawan di Indonesia utamanya di sekolah pak...ckckckck